Melihat Kehidupan Masyarakat Sekitar Di Madiun
Siang itu, Supriyadi (41), sibuk membelah potongan-potongan kayu berukuran kecil dan sedang di halaman rumahnya. Tak jauh dari tempat itu, terlihat ranting-ranting pohon jati juga terlihat berserakan dan sebagian menumpuk di samping rumah. Potongan kayu dengan diameter 4-5 centimeter dengan panjang antara 2-3 meter itu dibelah menggunakan kapak yang dia ayunkan berkali-kali dari dua tangannya.
Peluh keringat pun terlihat menetes di wajah dan sekujur tubuh bapak paruh baya ini. Kayu yang telah dibelah dengan ukuran-ukuran tertentu itu kemudian ditata sedemikian rupa dan siap untuk dijual. Kayu-kayu itulah yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan kayu rencek.
Tak hanya Supriyadi yang bekerja sebagai kayu rencek di kampung itu, hampir sebagian besar warga lainnya di Dusun Kedungdawuh, Desa Wonorejo, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, menjalani pekerjaan serupa.
Setiap hari, mereka mencari kayu dan ranting yang jatuh dari pohon jati di tengah hutan kawasan BKPH Caruban, KPH Madiun, kemudian dibawa pulang untuk dijadikan kayu rencek. Untuk menuju ke kedalaman hutan itu juga tidak mudah. Mereka harus menempuh perjalanan menggunakan sepeda ontel sekitar 5-6 kilometer. Itupun medan yang dilalui ditengah hutan cukup berat, berliku-liku dan naik turun daerah perbukitan.
"Saya sudah puluhan tahun menjalani pekerjaan ini. Mau kerja apalagi tinggal di sekitar hutan seperti ini apa-apa sulit. Kalau bercocok tanam pun hanya bisa mengandalkan pada saat musim penghujan. Sedangkan pada saat musim kemarau air sulit sekali didapatkan," ujar Supriyadi, saat ditemui di rumahnya, Minggu (11/5/2008).
Rumah Supriyadi hanya berjarak sekitar 300 meter dari rumah Yaimin (40), yang menjadi korban penembakan aparat gabungan Polwil Madiun dan Polhut Perhutani KPH Madiun beberapa waktu lalu. Dia mengaku, setelah kejadian penembakan itu sebagian warga tidak berani mencari kayu rencek lagi di hutan karena khawatir akan mengalami kejadian serupa.
Padahal, mencari kayu rencek selama ini menjadi mata pencaharian utama warga sekitar hutan. "Ya hampir 80% warga tamping (sekitar hutan,red) ini bekerja sebagai tukang kayu rencek. Tapi setelah kejadian itu warga masih khawatir dan diliputi perasaan takut," ungkapnya.
Sebetulnya, warga sekitar hutan yang biasa disebut masyarakat Tamping ini diberi hak mengelola lahan di kawasan hutan oleh Perhutani melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Tapi, masyarakat sekitar hutan merasa sangat kesulitan bercocok tanam di lahan hutan itu.
Selain pengairannya cukup sulit, berbagai tanaman palawija seperti jagung, kedelai, dan kacang tidak bisa tumbuh subur saat ditanam. Selain menanam tanaman model tumpangsari, warga juga diberi tanggungjawab untuk merawat tegakkan pohon jati di lahan itu. Nantinya jika pohon jati sudah ditebang warga mendapatkan bagi hasil (sharing) produksi tebangan. Tapi, dalam kenyataannya untuk bercocok tanam dan merawat pohon jati itu juga tidak mudah.
"Pihak Perhutani tidak memberikan bantuan apapun selama masa penanaman, pemupukan, sampai masa panen. Akhirnya disini banyak yang tidak mau membuka lahan dan menanam di kawasan hutan itu. Sebab, antara biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang didapat tidak nyucuk (mencukupi,red)," ungkapnya.
Ironis memang, hutan yang menghasilkan produksi kayu jati dalam jumlah besar, manfaatnya tidak dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan. Malah sebaliknya, kantong-kantong kemiskinan terlihat jelas di masyarakat pinggiran hutan ini. Warga sekitar hutan seperti di kawasan Desa Wonorejo ini juga tidak mendapatkan akses penghidupan dari hasil hutan.
Kalau mereka mengambil kayu dari hutan yang tidak sesuai ketentuan sering dianggap telah melakukan tindak pencurian kayu di hutan. Akibatnya pun tak tanggung-tanggung mereka harus berurusan dengan hukum.
Supriyadi mengaku, sebetulnya sudah turun temurun dia dan keluarganya tinggal di sekitar hutan itu dan merasa ikut memiliki hutan. Tapi apalah daya, selama ini masyarakat sekitar hutan ini hanya disuruh ikut menjaga dan merawat hutan tapi tidak menikmati hasil produksi hutan itu. Selama ini mereka hanya menjadi penjaga hutan yang dibayar gratis oleh pemilik kawasan hutan.
Yang lebih mengenaskan lagi, selain kondisi ekonomi yang serba sulit, masyarakat sekitar hutan juga tidak mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang memadai. Banyak anak-anak usia sekolah di sekitar hutan ini yang hanya lulus sekolah sampai tingkat SMP. Warga juga kesulitan mendapatkan hak pemenuhan gizi dan sarana kesehatan yang memadai yang semestinya diberikan oleh negara.
Menurut Kepala Dusun Kedungdawuh, Desa Wonorejo, Sarwo, sekitar 80% warga desa Wonorejo tidak memiliki lahan untuk bertani. Akibatnya, mereka hanya sebagai buruh tani dan penjual kayu rencek.
"Selama ini program kemitraan antara pihak Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan tidak berjalan dengan baik. Masyarakat sekitar hutan hanya dijadikan obyek bukan subyek untuk melestarikan dan menguatkan kawasan hutan. Sedangkan, imbas secara ekonomi tidak dirasakan sama sekali," ungkapnya.
Selama ini, kata dia, komunikasi yang terjalin antara pihak Perhutani atau pemerintah setempat dengan masyarakat pinggiran hutan juga tidak berjalan. Akibatnya, setiap kali ada program-program yang ditawarkan oleh pihak Perhutani maupun pemerintah setempat kerap ditanggapi dengan kecurigaan oleh masyarakat.
"Seolah masyarakat sekitar hutan (tamping,red) selalu disisihkan. Mereka harus bertahan hidup dan menghadapi berbagai kesulitan sendirian," ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Buat kemajuan blog ini, tidak ada salahnya untuk meninggalkan komentar sebelum keluar